Pages

Thursday, April 11, 2013

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha, Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, Klausula Baku Dalam Perjanjian, Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Sanksi

HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Berdasarkan pasal 6 dan 7 undang-undang no 8 tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut :
1. hak pelaku usaha
• hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
• Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa konsumen.
• Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. kewajiban pelaku usaha
• bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
• Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
• Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
• Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
• Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi .
• Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
• Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan , larangan-larangan dalam penjualan secara obral / lelang , dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan .
1. larangan dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
• tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ;
• tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
• tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
• tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut;
• tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
• tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
• tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2. larangan dalam menawarkan / memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah .
• barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
• Barang tersebut dalam keadaan baik/baru;
• Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
• Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
• Barang atau jasa tersebut tersedia.
• Tidak mengandung cacat tersembunyi.
• Kelengkapan dari barang tertentu.
• Berasal dari daerah tertentu.
• Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
• Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
• Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3. larangan dalam penjualan secara obral / lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
• menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
• Tidak mengandung cacat tersembunyi.
• Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
• Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4. larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
• mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
• Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.
• Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
• Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
• Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
• Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN

Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1. menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3. pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
4. pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

SANKSI

Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.

Sumber : http://vegadadu.blogspot.com

Tuesday, April 9, 2013

Kasus Wanprestasi Anak Perusahaan Krakatau Steel Dimeja Hijaukan

Surabaya, Seruu.com - Wanprestasi yang dilakukan oleh PT Krakatau Bandar Samudera (KBS)-anak perusahaan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dengan PT Acretia Shosha Inti Persada (ASIP) merembet jauh. Selain menggugat PT KBS, PT ASIP akan menggugat Bank Bukopin cabang Sidoarjo.
Dasar gugatan yang dilakukan PT ASIP adalah Bank Bukopin telah membayarkan bank garansi (uang jaminan) ke KBS di saat kasus tersebut masih dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Sidoarjo.

Kuasa Hukum PT ASIP, Adil Prandjadja dalam keterangannya, senin (21/1/2013) mengungkapkan bahwa Bank Bukopin tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

"Ketika proses hukum sedang berjalan, malah sudah dicairkan bank garansinya ke PT KBS tanpa persetujuan kami," ungkapnya.

Adil mengatakan revisi gugatan tersebut akan dilayangkan ketika sidang kedua dan apabila dihadiri oleh seluruh pihak tergugat pada Rabu (17/1/2013) lalu.

Karena pada sidang pertama di PN Sidoarjo, seluruh pihak hadir semua, kecuali PT Yodya Karya (persero) berdomisili di Jakarta.

"Kita akan sampaikan revisi gugatan tersebut pada saat sidang kedua nanti yang dihadiri seluruh tergugat," sambungnya.

Adil juga menyebutkan bahwa Selain PT KBS Cilegon, Banten dan PT Bank Bukopin Cabang Sidoarjo, PT APIS juga menggugat PT Yodya Karya (persero) berdomisili di Jakarta; PT Krakatau steel Tbk; PT Krakatau Posco dan Pemerintah Republik Indonesia Cq Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sementara itu, Kepala Bank Bukopin Cabang Sidoarjo Darmawan saat dikonfirmasi melalui telepon, mengaku siap menjalani proses hukum.

"Saya tidak mau berpolemik dalam hal ini. Kita ikuti sajalah," singkatnya.‬

Sekedar Diketahui, PT KBS digugat digugat opel PT ASIP di PN Sidoarjo, karena dinilai inilai melakukan pemutusan kontrak secara sepihak.

Dalam materi gugatan Perkara Reg No 204/Pdt 6/2012/PN.Sda tersebut diantaranya menjelaskan bahwa, pada 8 Agustus 2012, PT ASIP melakukan penandatangan perjanjian dengan PT KBS tentang pekerjaan pengerukan Idredging minus 12 meter LWS (Low Water Spring) di dermaga III PT Krakatau Bandar Samudera, Cilegon, Banten, No. HK.02.01/030A/DU/VIII/2012 jo No. 06/ASIP KBS/PO/VIII/2012, dengan jangka waktu pengerjaan 8 Agustus 2012 sampai dengan 5 Januari 2013 (150 hari sejak 8 Agustus 2012), dengan nilai proyek total Rp 9,550 Miliar.

Namun di tengah perjalanan waktu, ada permasalahan yang mengakibatkan kerjasama PT ASIP diputus secara sepihak oleh PT KBS, per 20 November 2012. Padahal, proyek yang sudah dikerjakan mencapai 19,549 persen per 23 Oktober 2012.

Selain itu, PT ASIP sudah mengeluarkan biaya operasional, serta menyetorkan dana sekitar Rp 1 miliar dalam dua tahap, yakni sebagai jaminan uang muka Rp 500 juta dan Rp 500 juta sebagai jaminan pelaksanaan, ke Bank Bukopin Cabang Sidoarjo.

Namun, sekitar awal Januari 2013 lalu, Bank Bukopin Cabang Sidoarjo sudah mencairkan bank garansi ke PT KBS.[Yud]

Sumber :  Kasus Wanprestasi Anak Perusahaan Krakatau Steel Dimeja Hijaukan

Wanprestasi dan Ganti Rugi

Wanprestasi Menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam

Wanprestasi Menurut Hukum Perdata

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya. Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Sebagaimana tertulis dalam keputusan Mahkamah Agung tangal 21 Mei 1973 No. 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli. (baca: Yurisprudensi, 1974).

Ruang Lingkup Wanprestasi dalam KUH Perdata

  1. Bentuk-bentuk wanprestasi:

a.       Debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali
b.      Debitur berprestasi tetapi tidak tepat waktu
c.       Debitur berprestasi tetapi tidak baik  
  2. Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:

a.       Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi  melalui  Pengadilan Negeri.
b.      Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur  tidak melalui Pengadilan Negeri.

  3. Isi Peringatan:

a.       Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan  prestasi
b.      Dasar teguran  

  4. Akibat Hukum bagi Debitur yang  Wanprestasi:

a.       Pemenuhan/pembatalan prestasi
b.      Pemenuhan/pembatalan prestasi dan ganti rugi
c.       Ganti rugi


  5. Bentuk Khusus Wanprestasi:

a.       Dalam suatu perjanjian jual beli, salah satu kewajiban Penjual menanggung adanya cacat tersembunyi, jika ini tidak terpenuhi berarti prestasi tidak terlaksana.
b.      Cacat tersembunyi merupakan bentuk wanprestasi khusus karena akibat wanprestasi ini berbeda dengan wanprestasi biasa.


  6. Akibat Wanprestasi bentuk khusus:
a.       Actio redhibitoria     : Barang dan uang kembali
b.      Actio quantiminoris : Barang tetap dibeli, tetapi ada  pengurangan harga




Wanperstasi menurut Hukum Islam
           
            Bilamana akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh deitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya (ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur. Kesalahan dalam fikih disebut at-ta’addi, yaitu suatu sikap (berbuat atau tidak berbuat) yang tidak diizinkan oleh syarak. Artinya suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban. Wanprestasi dalam hukum Islam secara secara komprehensif dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai konsep ganti-rugi menurut hukum islam yang dikutip dari Asmuni Mth. dalam Teori Ganti rugi (dhaman) Perspektif Hukum Islam.

C. Ganti Rugi Perdata dan Ganti Rugi Pidana Perspektif Hukum Posisitif dan Hukum Islam

Ganti Rugi Perdata Perspektif Hukum Positif

Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebih menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenubinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditir akibat kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:
  1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.
  2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur.
  3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.
Ganti Rugi Pidana Perspektif Hukum Positif
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. Pada masa ini terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.
Konsep Ganti Rugi Menurutu Hukum Perdata dan Hukum Islam

Konsep Ganti Rugi menurut Hukum Perdata:

Menururut ketentuan pasal 1243 KUHPdt,  ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
      Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:
1.      Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan.
2.      Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, amburuknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga.
3.      Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan  (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur tersebut harus ada. yang ada mungkin kerugian yang sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:
  1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHPdt).
  2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
  3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHPdt). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.

Konsep Ganti Rugi menurut Hukum Islam

            Menururt Asmuni Mth dalam tulisannya, Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam, menyebutkan secara gamblang sebagai berikut:
“Ide Ganti rugi terhadap korban perdata maupun pidana, sejak awal sudah disebutkan oleh nas al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Dari nas-nas tersebut para ulama merumuskan berbagai kaidah fiqh yang berhubungan dengan dhaman atau ganti rugi. Memang diakui sejak awal, para fuqaha tidak menggunakan istilah masuliyah madaniyah sebagai sebutan tanggung jawab perdata, dan juga masuliyah al-jina’iyah untuk sebutan tanggung jawab pidana. Namun demikian sejumlah pemikir hukum Islam klasik terutama al-Qurafi dan al-‘Iz Ibn Abdi Salam memperkenalkan istilah al-jawabir untuk sebutan ganti rugi perdata (baca:dhaman), dan al-zawajir untuk sebutan ganti rugi pidana (baca: ­‘uqubah diyat, arusy dan lain-lain).Walaupun dalam perkembangannya kemudian terutama era kekinian para fuqaha’ sering menggunakan istilah masuliyah yang tidak lain merupakan pengaruh dari karya-karya tentang hukum Barat. Dhaman dapat terjadi karena penyimpangan terhadap akad dan disebut dhaman al-aqdi, dan dapat pula terjadi akibat pelanggran yang disebut dhaman ‘udwan. Di dalam menetapkan ganti rugi unsur-unsur yang paling penting adalah darar atau kerugian pada korban. Darar dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa dan juga kerusakan yang bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan darar adabi termasuk di dalamnya pencemaran nama baik. Tolok ukur ganti rugi baik kualitas maupun kuantitas sepadan dengan darar yang diderita pihak korban, walaupun dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengat kondisi pelaku”.

Berbeda halnya dengan Syamsul Anwar, konsep ganti-rugi dalam hukum Islam lebih menitikberatkan pada hak dan kewajiban antara pihak debitur dan pihak kreditur. Menurutnya, ganti rugi dalam Islam hanya dibebankan pada pihak debitur apabila pihak kreditur dirugikan oleh pihak deditur akibat tidak melaksanakan tanggung jawab atau ingkar janji. Ganti rugi hanya dibebankan pada debitur yang ingkar janji apabila kerugian yang dialami oleh kreditur memiliki hubungan sebab akibat dengan perbuatan ingkar janji atau ingkar akad dengan debitur. Tanggung jawab akad memiliki tiga unsur pokok:
  1. Adanya ingkar janji yang dapat dipersalahkan.
  2. Adanya ingkar janji itu menimbulkan kerugian bagi pihak kerditor
  3. Kerugian kreditor disebabkan oleh (memiliki hubungan sebab-akibat dengan) perbuatan ingkar janji debitur.
Dalam Islam istilah tanggung jawab yang terkait dengan konsep ganti-rugi dibedakan menjadi dua:
1.      Daman akad (daman al’akd), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada ingkar akad.
2.      Daman udwan (daman al’udwan), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) atau dalam istilah hukum perdata indonesia disebut dengan perbuatan melawan hukum.
Pengertian dhaman dalam khazanah hukum Islam cukup bervariatif, sebagaimana dijelaskan oleh Asmuni Mth. bahwa kata dhaman memiliki makna yang cukup beragam, baik makna secara bahasa maupun makna secara istilah. Secara bahasa dhaman diartikan sebagai ganti rugi atau tanggungan. Sementara secara istilahi mengutup dari Asmuni Mth. adalah  tanggungan seseorang untuk memenuhi hak yang berkaitan dengan kehartabendaan, fisik, maupun perasaan seperti pencemaran nama baik.
Jika diuraikan secara lengkap, pengertian di atas memberikan cakupan yang cukup luas dalam hukum perikatan Islam. Sebagaimana diuraikan oleh Asmuni Mth. dalam tulisannya bahwa definisi dhaman akan mencakup makna-makna sebagai berikut:
a)      Obyek wajib dhaman terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban dhaman tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak yang berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan (mutadarrar) berhak mengadukan mutasabbib (penyebab kerugian) ke pengadilan agar memenuhi kewajibannya. Berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau keagamaan, syari’ hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa implikasi hukuman keduniaan karena merupakan khitab al-targib yang meliputi makruhat dan mandubat. Zimmah menurut bahasa adalah al-‘ahdu (perjanjian). Menurut tradisi fuqaha’ zimmah adalah suatu sifat yang menjadikan seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima  hak  atau melakukan kewajiban. Ahlu zimmah adalah mereka yang melakukan perjanjian di mana dengan perjanjian itu mereka memiliki hak dan kewajiban.

b)      Kewajiban atas dasar dhaman berbeda dengan kewajiban atas dasar ‘uqubah, baik pada karakter maupun tujuannya. Dhaman ditetapkan untuk melindungi hak-hak individu. Sedangkan ‘uqubah ditetapkan karena adanya unsur pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT. Kewajiban pada dhaman bertujuan untuk mengganti atau menutupi (al-jabru) kerugian pada korban. Sementara ‘uqubah ditetapkan untuk menghukum pelaku kejahatan agar jera dan tidak melakukan perbuatan itu lagi (al- zajru). Jadi tujuan yang berorientasi pada al-jabru disebut dhaman. Sedangkan tujuan yang berorientasi pada al-zajru disebut ‘uqubah.

c)      Sebab-sebab dhaman adalah adanya unsur ta’addi, yaitu melakukan perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan kewajiban menurut hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad yang semestinya harus dipenuhi. Misalnya, penerima titipan barang (al-muda)’ tidak memelihara barang sebagaimana mestinya, SEOrang al-ajir (buruh upahan, orang sewaan) dangan al-musta’jir (penyewa) sama-sama tidak komitmen terhadap akad yang mereka sepakati. Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum syariah (mukhalafatu ahkâm syari’ah) seperti pada kasus perusakan barang( al-itlâf), perampasan  (al-gasb), maupun kelalaian atau penyia-nyiaan barang secara sengaja (al-ihmâl).

d)     Ta’addi yang mewajibkan dhaman benar-benar menimbulkan darar (kerugian). Jika tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada dhaman, karena secara faktual tidak ada darar yang harus digantirugikan. Itulah sebabnya jika SEOrang pengendara yang lalai menabrak barang orang lain tetapi tidak menimbulkan kerusakan, tidak wajib memberikan dhaman. Namun demikian, terdapat suatu perbuatan dengan sendirinya mewajibkan dhaman seperti al-gasbu (perampasan). Menurut jumhur ulama, pelaku perampasan harus mengganti manfaat barang selama berada dalam penguasaannya walaupun tidak difungsikan. Pendapat ini berdasarkan asumsi bahwa kerugian selalu terjadi pada kasus-kasus perampasan. Kerugian atau darar juga akan dialami oleh orang-orang yang dibatasi kebebasannya oleh penguasa atau seseorang yang ditahan secara ilegal menurut fuqaha’ Hanabilah. Pendapat ini memperkuat kaidah bahwa al-dharar syarthun liwujubi dhaman (kerugian adalah syarat terhadap keharusan ganti rugi).

e)      Antara ta’addi (pelanggaran) dengan darar (kerugian) harus memiliki hubungan kausalitas. Artinya, darar dapat dinisbatkan kepada pelaku pelanggaran secara langsung. Jika darar dinisbatkan kepada sebab-sebab lain, bukan perbuatan pelaku (muta’addi) sendiri, maka dhaman tidak dapat diberlakukan, karena seseorang tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat perbuatan orang lain. Kaidah syariah mengenai masalah ini adalah:
لا تزر وازرة وزر أخرى ؛ لا يؤاخذ أحد بجريرة غيره .

f)       Darar harus bersifat umum sesuai dengan keumuman hadis Nabi: laa dharara wa laa dhirara (tidak boleh merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain). Tingkat darar diukur berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul: yajibu hamlu al-lafzi ‘ala ma’nahu al-muhaddad fi as-syar’i in wujida, wa illa wajaba hamluhu ‘ala ma’nahu al-‘urfi (suatu keharusan membawa kata kepada maknanya yang definitif secara syara’ jika ditemukan, tetapi kalau tidak ada, maka dialihkan kepada makna definitif berdasarkan ‘urf). Karena syari’ tidak menetapkan makna darar, sehingga ukurannya, baik kualitas maupun kuantitas, mengacu pada ‘urf. Dengan demikian, darar yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa, dan hak-hak yang berkaitan dengan kehartabendaan jika selaras dengan ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat.

g)      ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­Kualitas dan kuantitas dhaman harus seimbang dengan darar. Hal ini sejalan dengan filosofi dhaman, yaitu untuk mengganti dan menutupi kerugian yang diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar menjadi jera. Kendati demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau hanya bersifat konvensional.


Ganti Rugi Perdata perspektif Hukum Islam
Ganti rugi perdata dalam hukum islam lebih menitikberatkan tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan suatu akad perikatan. Apabila salah satu pihak tidak melaksankan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, maka tentu akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain. Dalam hukum Islam tanggung jawab melaksanakan akad disebut dengan dhaman al-’aqdi. Dhaman al-’qdi adalah bagian dari tanggung jawab perdata. Jadi yang dimaksud ganti rugi perdata dalam hukum islam adalah tanggung jawab perdata dalam memberikan ganti rugi yang bersumber dari adanya ingkar akad.
Ganti rugi Pidana dalam hukum Islam  
Ganti rugi pidana dalam hukum Islam adalah ganti rugi yang dibebankan kepada pihak debitur akibat tidak melaksanakan perikatannya mungkin karena kesalahannya sendiri atau karena ada sebab diluar kehendak debitur. Dalam hukum Islam ganti rugi pidana disebut dengan dhaman al-’udwan, yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) orang lain, atau dalam istilah KUH Perdata disebut dengan perbuatan melawan hukum.
D. Sebab-Sebab Ganti Rugi Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Sebab-sebab ganti rugi menurut hukum Islam:

Sebab-sebab ganti rugi dalam perspektif hukum Islam fiqh muamalat yang berkaitan dengan hukum perikatan Islam. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai sebab adanya ganti rugi. Menurut Syamsul Anwar, ada dua macam sebab terjadinya ganti rugi (dhaman). Pertama, tidak melaksanakannya akad, dan kedua, alfa dalam melaksanakan akad. Yakni apabila akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan oleh debitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya (ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur, baik kesalahan itu karena kesengajaanya untuk tidakl melaksanakan akad, atau kesalahan karena kelalaiannya. Kesalahan dalam ilmu fiqh disebut dengan at-ta’addi, yakni suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban dan tidak diizinkan oleh syarak.
Menurut Asmuni Mth dalam artikelnya menjelaskan:
Seseorang tidak dapat dibebankan ganti rugi kecuali memenuhi dua rukun, yaitu: al-i’tida’ dan al-darâr. Al-i’tidâ’ adalah melampaui batas yang menurut para fuqaha’ mengandung unsur kezaliman, rasa permusuhan, dan melampaui hak. Kriterianya adalah menyimpang dari perilaku normal. Adapun sebab-sebab dhaman ada tiga, yaitu aqad, yad, dan itlâf. Dhaman pada aqad dapat terjadi ketika ada pihak yang melakukan interpretasi terhadap ketentuan eksplisit dari redaksi perjanjian atau makna implisitnya sesuai dengan keadaan dan situasi (al-‘urf atau al-‘âdah) yang berlaku. Sedangkan wadh’u al-yad dapat menjadi sumber ganti rugi baik itu al-yad mu’tamanah maupun bukan mu’tamanah. Yad al-mu’tamanah seperti yad al-wâdi’ dan al-mudhârib, al-‘âmil al-musâqi, al-ajir al-khâs, al-washi ‘ala mâl al-yatim, hakim dan al-qadhi ‘ala sunduq al-aitâm, dan lain-lain. Mereka ini jika melakukan ta’addi (personal abuse case) atau taqshir dibebani/dikenakan ganti rugi. Namun jika tidak ada unsur ta’addi atau taqshir tidak dapat dibebankan ganti rugi karena mereka tergolong al-aydi al-amânah (tangan-tangan amanah). Adapun al-yad gairu al-mu’tamanah yang melakukan sesuatu terhadap harta orang lain tanpa izin dari pemilik seperti pencuri dan perampas, atau dengan seizin pemilik seperti al-yad al-bâ’i’ terhadap barang yang dijual sebelum serah terima, atau al-musytari setelah serah terima barang, dan penyewa hewan tunggangan atau semisalnya jika melakukan ta’addi terhadap syarat-syarat yang sudah ditentukan atau ketentuan yang sudah biasa berlaku. Mereka ini wajib memberikan ganti rugi terhadap kerusakan barang pada saat berada di tangannya, apapun penyebab kerusakan sekalipun terpaksa seperti bencana alam dan lainnya. Adapun al-itlâf menjadi sebab ganti rugi baik langsung maupun hanya sebagai penyebab. Itlâf biasanya diartikan mendisfungsikan barang. al-Itlâf dibagi dua yaitu al-itlaf al-mubasyir (perusakan langsung), dan al-itlaf bi al-tasabbub (perusakan tidak langsung).
           
Dari kedua sumber di atas, kiranya dapat memberikan gambaran secara ringkas mengenai sebab-sebab ganti rugi menurut hukum Islam, walaupun lebih banyak mengutip pendapatnya Asmuni Mth. 

Sebab sebab ganti rugi menurut hukum Perdata

Dalam pasal 1248 KUH Perdata menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sebab-sebab ganti rugi adalah ganti rugi yang merupakan akibat ’langsung’ dari wanprestasi. Dengan kata lain harus ada hubungan sebab-akibat atau kausal-verband antara kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi. Atau akibat langsung dari perbuatan debitur yang ingkar melaksanakan suatu perjanjian menurut selayaknya. 
Menurut Yahya Harahap, untuk menentukan sebab-sebab ganti rugi sangat sulit, undang-undang sendiri dalam perumusannya sering memuat secara berbarengan beberapa akibat tentang ”satu feit” yang disebutkannya. Kesulitan yang terjadi pada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan wanprestasi ditimbulkan oleh masalah lingkungan hukum. Menurutnya, kadang-kadang satu peristiwa / satu feit, pada waktu yang bersamaan sekaligus menyentuh dua lingkungan hukum, yaitu lingkungan hukum pidana dan hukum perdata. Dengan demikian sebab-sebab ganti rugi dalam hukum perdata hanya didasarkan pada wanprestasi semata. 


&&&
Referensi:


1.                                    Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, tahun 1993.

  1. Daeng Naja, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti, tahun 2005.

3.                                    Hasbi As-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, tahun 1974.

4.                                    Iyan Pramadya Puspa, Kamus hukum edisi lengkap, Semarang: Aneka Ilmu, Tahun 2007.

5.                                    J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Bandung: alumni, tahun 1999.

6.                                    M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, cet.II, Bandung: Penerbit Alumni, tahun 1986.

7.                                    Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, cet.II, Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 1986.

8.                                    Nawawi Rambe, Fiqh Islam, Jakarta: Duta Pahala, Tahun 1994.

9.                                    Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, cet.I, Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 1984.

10.                                Paulus J Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Jogjakarta: Universitas Atmajaya Jogjakarta, tahun 2007.

11.                                Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, tahun 2006.

12.                                Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi Tentang Tori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 2007.

13.                                Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, cet. XXVI, tahun 1994.


KASUS WANPRESTASI LOAN AGREEMENT (PERAN ARBITRASE)

Kasus posisi

  • PT LUMBUNG TANI INDONESIA (PT. LTI), berdomisili di Jalan Ngagel 85 A Surabaya, mendirikan pabrik gula fructosa yang berlokasi di Mojokerto, rencananya memproduksi 50% EFS (Enriched Fructosa Syrup), 77% DS (Dry System) dari bahan baku akar singkong.
  • Untuk keperluan tersebut PT. LTI memerlukan seperangkat mesin buatan Jerman.
Tanggal 15 November 1984 PT. LTI membeli mesin-mesin dari KLOEKNER INDUSTRIE ANLAGEN GmbH (KINA) yang bekerja sama dengan STARCOSA GmbH (KINA & STARCOSA), keduanya berdomisili di Republik Federasi Jerman.
  • Cara pembelian, penjualan, pembayaran dan penyerahan serta pemasangan mesin dituangkan dalam EXPORT-CONTRACT antara PT. LTI dengan KINA & STARCOSA.
  • Komponen mesin yang dibeli oleh PT. LTI dari KINA & STARCOSA disepakati berkapasitas maksimum 100 ton perhari, dengan nilai kontrak DM 15.920.000.
  • Tanggal 11 Desember 1984, PT. LTI membuat perjanjian pinjaman i.q. “LOAN AGREEMENT” dengan DG BANK DEUTSCHE GENOSSENSCHAFT BANK (DG BANK) berkantor pusat di Plaats der Republik, 6000 Frankfurt/Main, Republik Federasi Jerman.
  • DG Bank berdasarkan LOAN AGREEMENT telah memberikan pinjaman/kredit kepada PT. LTI sebesar DM 13.532.000 untuk pembayaran 85% dari nilai kontrak pembelian mesin-mesin oleh PT. LTI kepada KINA & STARCOSA.
  • Pembayaran harga mesin-mesin oleh PT. LTI kepada KINA & STARCOSA selain kredit yang diperoleh dari DG Bank, juga dibayar dengan cara 5% down payment (dibayar tunai), 10% dengan pembukaan L/C pada Bank Dagang Negara dikonfirmasikan oleh PT. LTI di Frankfurt Jerman.
  • Berdasarkan LOAN AGREEMENT, PT. LTI berkewajiban membayar pinjaman/kredit dimaksud kepada DG Bank dalam 10 kali cicilan yang sama besarnya dibayar setiap setengah tahun secara beruntun sebagaimana dinyatakan dalam ”REPAYMENT SCHEDULE”.
  • Kewajiban PT. LTI lain-lainnya antara lain:
1.   Membayar bunga atas kredit yang masih terhutang sebesar 9,5% per annum.
2.   Bunga keterlambatan 3.5% di atas suku bunga yang ditentukan untuk setiap kali keterlambatan pembayaran.
3.   Ganti rugi i.c. “GLOBAL SETTLEMENT of DAMAGES” sebesar 3.5% di atas suku bunga yang ditentukan sebagai “CHARGE of DEFAULT” apabila dan setiap kali bercidera janji.
4.   Dengan keterlambatan dan Global Settlement of Damages masing-masing sebesar 3.5% di atas suku bunga yang ditentukan diperhitungkan dari mulai hari bayar/gugur daripada pembayaran yang terlambat tersebut dikredit dan dibukukan pada Rekening Kreditor.
5.   Membayar dengan segera dan sekaligus ongkos pembiayaan tambahan “ADDITIONAL FINANCING COST” yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan Repayment Schedule.
  • Ternyata PT. LTI sama sekali belum melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan “LOAN AGREEMENT’ kepada DG Bank, meskipun hutangnya sejak lama jatuh tempo dan telah ditagih berulang kali.
  • PT. LTI hanya melakukan pembayaran sebagian bunga yang terhutang kepada DG Bank sebagai berikut:
1.   Sebesar DM 163.169.99 (masih kurang DM 63) bulan Maret-April 1986 sebagai pelunasan pembayaran bunga I yang jatuh tempo tanggal 27 Februari 1987;
2.   Sebesar DM 100.000 (2 x DM 50.000) tanggal 21 Juli 1987 pelunasan pembayaran bunga ke II jatuh tempo 27 Agustus 1987 sisanya sampai sekarang masih terhutang;
3    Sebesar DM 25.000 bulan Mei 1987 pelunasan pembayaran di muka untuk bunga ke III jatuh tempo 27 Februari 1987.
  • Tanggal 7 Januari 1985, ada dibuat perjanjian “PAYMENT GUARANTEE” antara DG Bank dengan PT. LTI dan para Penanggung Hutang (Borgtocht).
  • Dalam “payment guarantee” ditentukan bahwa PT. LTI bersama-sama bertanggungjawab renteng dengan para Penanggung Hutang atas pelunasan pembayaran hutangnya PT. LTI kepada DG Bank.
  • Para Penanggung Hutang tersebut adalah:
1.   PT. RAJUT DJATIM BARU, berdomisili di Jalan Pregolan Bunder 19 Surabaya.
2.   MR. DAVID LAUWIDJAJA, berdomisili di Jalan Pregolan Bunder 19 Surabaya.
3.   MRS. ANNEKE LAUWIDJAJA, berdomisili di Jalan Ngagel 85 A Surabaya.
4.   MRS ESTER LAUWIDJAJA, berdomisili di Jalan Pregolan Bunder 19 Surabaya.
  • Sesuai pasal 11 “LOAN AGREEMENT” jumlah hutang pokok bunga kontraktuil, bunga keterlambatan, Charge for Default PT. LTI kepada DG Bank sampai jatuh tempo pembayaran dirinci sebagai berikut:
1.   Bunga dan Utang Pokok
jatuh tempo sampai 31 Oktober 1988.                               DM 8.327.429.37,-
2.   Utang selebihnya meskipun menurut Repayment
Schedule belum jatuh tempo karena cidera janji
pada saat tanggal 6 Maret 1989                                         DM 8.119.200.00,-
3.   Bunga terutang atas utang butir 2 selama periode
31 Oktober 1988 – 6 Maret 1989                                       DM    269.963.40,-
4.   Bunga keterlambatan atas pembayaran utang pokok      DM 1.352.598.57,-
5.   Charge of Default atas pembayaran-pembayaran
yang jatuh tempo total pembayaran yang terhutang
pada tanggal 30 Juni 1989                                                  DM    694.050.29,-
Total                                                                                        DM18.763.241.63,-

  • Ternyata baik PT. LTI maupun para Penanggung Hutang sesuai Loan Agreement dan Payment Guarantee tidak melakukan kewajiban membayar hutang (pinjaman/kreditnya PT. LTI kepada DG Bank, sehingga PT. LTI dan para Penanggung Hutang telah cidera janji.
  • Berdasarkan hal tersebut DG Bank mengajukan gugatan perdata sebagai Penggugat di Pengadilan Negeri Surabaya (Reg. No. 568/PDT.G/1989/PN.Sby) terhadap para TERGUGAT:
1.   PT LUMBUNG TANI INDONESIA               sebagai Tergugat I
2.   PT. RAJUT DJATIM BARU              sebagai Tergugat III
3.   MR. DAVID LAUWIDJAJA                          sebagai Tergugat IV
4.   MRS. ANNEKE LAUWIDJAJA                   sebagai Tergugat V
5.   MRS ESTER LAUWIDJAJA                       sebagai Tergugat VI
  • Petitum dalam gugatan yang diajukan Penggugat sebagai berikut:
PRIMAIR:
1.   Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2.   Menyatakan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) dan atau Sita Penyesuaian yang dilaksanakan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya adalah sah dan berharga.
3.   Menyatakan sebagai hukum, Tergugat I, II, III, IV dan V telah melakukan cidera janji (wanprestasi) terhadap Penggugat karena tidak melakukan kewajibannya dengan benar dan baik.
4.   Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar seluruh jumlah hutang yang belum dilunasi kepada Penggugat yaitu sebesar DM 18.763.241.63 (Deutsche Mark: delapan belas juta tujuh ratus enam puluh tiga ribu dua ratus empat puluh satu dan enam puluh tiga per seratus) ditambah bunga yang berjalan terus dan biaya-biaya lainnya sesuai perjanjian Loan Agreement, terhitung sejak tanggal gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Surabaya hingga putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang pasti sah/atau dapat dilaksanakan.
5.   Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun para Tergugat menggunakan upaya hukum lain (uit voorbaar bij voorraad).
6.   Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara.
SUBSIDAIR:
  • Mohon putusan sesuai alur dan patut (ex aequo et bono).
  • Harta Kekayaan para Tergugat telah diletakkan Vergelikende Beslag dan Conservatoir Beslag oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya.
  • Terhadap gugatan tersebut, Tergugat I, II, III dan IV memberikan tanggapan, berupa EKSEPSI dan JAWABAN terhadap pokok sengketa.
DALAM EKSEPSI:
Pengadilan Negeri Surabaya harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini (Exceptie van onbevoegdheid).  Penggugat seharusnya mengajukan tuntutan (claim)-nya di hadapan BADAN ARBITRASE.
  • Alasan yang diajukan pada pokoknya sebagai berikut:
1.   Perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat yang menjadi dasar gugatan dituangkan dalam “LOAN AGREEMENT” tanggal 11 Desember 1984;
2.   Pasal 15:2 alinea pertama “LOAN AGREEMENT” tegas-tegas menyatakan keinginan para pihak untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan melalui BADAN ARBITRASE, berbunyi “Semua perselisihan/sengketa yang timbul dalam hubungannya dengan LOAN AGREEMENT ini, termasuk sengketa-sengketa mengenai keabsahan dari LOAN AGREEMENT atau setiap ketentuan yang ada didalamnya, akan diselesaikan oleh ARBITRASE berdasarkan ketentuan-ketentuan INTERNATIONAL CHAMBER COMMERCE (ICC) sesuai dengan Persetujuan Arbitrase yang terlampir pada LOAN AGREEMENT SEBAGAI LAMPIRAN V.”
3.   Pasal 15:2 alinea kedua LOAN AGREEMENT berbunyi: “Walaupun demikian, Pemberi Pinjaman memiliki hak untuk melancarkan tindakan hukum di depan Pengadilan yang berwenang di Indonesia, yang tidak mengecualikan setiap wilayah hukum berwenang lainnya.  Sejauh menyangkut tindakan hukum di depan Pengadilan yang berwenang, Arbitrase tidak akan dilakukan;
4.   Penyelesaian sengketa/perselisihan yang timbul dalam hubungannya dengan LOAN AGREEMENT tersebut harus diutamakan atau mendahulukan penyelesaiannya melalui BADAN ARBITRASE dan baru kemudian dapat dilakukan melalui Pengadilan; bahkan apabila terdapat penyitaan, pembeslahan, penahanan atau sita jaminan dalam hubungan sengketa tersebut, penyelesaian melaui Badan Arbitrase tidak dapat ditiadakan/dikecualikan.
5.   Penyitaan (sita jaminan/sita penyesuaian) tersebut seharusnya didasarkan pada hasil putusan Badan Arbitrase, sehingga Sita Jaminan/Sita Penyesuaian yang telah dilakukan dalam perkara ini harus dinyatakan batal demi hukum.
6.   Yurispundensi tetap Mahkamah Agung RI menyatakan dengan tegas, apabila pihak-pihak dalam suatu perjanjian sepakat menyelesaikan sengketanya di hadapan BADAN ARBITRASE yang dengan tegas-tegas dinyatakan dalam 1 klausula Arbitrase pada perjanjian tersebut, maka apabila salah satu pihak menyimpang dari klausula Arbitrase tersebut dengan mengajukan sengketanya di hadapan Pengadilan Negeri, seharusnya Pengadilan Negeri menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
  • Atas eksepsi tersebut Tergugat I, II, III dan IV mohon putusan sebagai berikut:
1.   Menyatakan Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang mengadili perkara ini;
2.   Membatalkan/mencabut Sita Jaminan/Sita Penyesuaian yang telah diletakkan dalam perkara ini;
3.   Menolak gugatan, atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
4.   Menghukum Penggugat untuk membayar ongkos perkara.
  • Para Tergugat I, II, III dan IV selain mengajukan Eksepsi dan jawaban dalam pokok perkara juga mengajukan gugatan Rekonpesi pada pokoknya sebagai berikut:
PRIMAIR:
1.   Mengabulkan seluruh gugatan Rekonpensi.
2.   Menyatakan Sita Jaminan yang telah diletakkan atas harta kekayaan Tergugat Rekonpensi sah dan berharga.
3.   Menyatakan Tergugat Rekonpensi telah turut melakukan perbuatan Ingkar Janji dan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh KINA & STARCOSA terhadap para Penggugat Rekonpensi.
4.   Dst…….dst……dst.
PENGADILAN NEGERI:
  • Hakim Pertama yang mengadili perkara ini, dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
  • Eksepsi yang diajukan para Tergugat (I, II, III dan IV) tentang Exceptie van Onbevoegdheid, dinyatakan DITOLAK oleh Hakim, sebagaimana isi dictum Putusan Sela tanggal 27 Februari 1990 berbunyi sebagai berikut:
MENGADILI:
  • Sebelum memutus Pokok Perkara:
1.   Menolak Eksepsi Tergugat I, II, III dan IV;
2.   Menyatakan Pengadilan Negeri Surabaya berwenang untuk mengadili perkara ini;
3.   Memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara ini;
4.   Menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir.
  • Hakim Pertama berpendapat, tentang penolakan Eksepsi para Tergugat sebagai berikut:
  • Pasal 15:2 “loan agreement” menegaskan: “Walaupun demikian Pemberi Pinjaman memiliki hak untuk melancarkan tindakan hukum di depan Pengadilan yang berwenang di Indonesia, dengan tidak mengecualikan setiap wilayah hukum berwenang lainnya sejauh menyangkut tindakan hukum di Pengadilan yang berwenang, ARBITRASE tidak akan dilakukan, tetapi pengeluaran perintah Penyitaan atau Sita Jaminan, Penahanan tidak akan mengecualikan arbitarse”.
  • Dengan demikian Penggugat berhak untuk mengajukan perkara ini ke forum Pengadilan Negeri atau forum Arbitrase, karena Penggugat telah menggunakan haknya mengajukan perkara ini ke forum Pengadilan Negri dalam hal ini Pengadilan Negri Surabaya, maka Pengadilan Negeri Surabaya berwenang mengadili perkara ini;
  • Karena Pengadilan Negeri Surabaya berwenang mengadili perkara ini, hukum yang berlaku adalah hukum Republik Indonesia termasuk Hukum Acaranya, karena itu Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag) yang dilakukan menurut ketentuan dan cara-cara berdasarkan hukum di Indonesia adalah sah dan berharga;
  • Tentang tempat pelaksanaan penerapan hukum/tentang pilihan domisili, karena Penggugat telah memilih forum Pengadilan Negeri di Indonesia untuk menyelesaikan sengketanya, bertolak dari pasal 118 HIR yang menyebutkan pada azasnya gugatan diajukan di tempat tinggal Tergugat, adalah tepat dan benar Penggugat menggunakan hak dan azas umum tersebut, kendatipun dalam LOAN AGREEMENT menentukan Frankfurt/Main sebagai tempat penerapan hukum.
  • Tentang Eksepsi Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang mengadili perkara ini, adalah tidak tepat dan tidak beralasan, karena itu harus ditolak, dan biaya perkara karena belum selesai ditangguhkan hingga putusan akhir.
DALAM KONPENSI:
  • Tergugat I, II, III dan IV mengakui “LOAN AGREEMENT” dan belum dapat melakukan kewajibannya sesuai dengan Loan Agreement, karena itu terbukti Tergugat I, menerima pinjman/kredit sebesar DM 13.532.000 dari Penggugat, dan Tergugat I terbukti belum melakukan kewajibannya sesui dengan LOAN AGREEMENT, REPAYMENT SCHEDULE dan PAYMENT GUARANTEE.
Tergugat I, meminta supaya bunga ditetapkan 6% setahun karena belum dapat melakukan kewajibannya sesuai dengan Loan Agreement dengan alasan:
-     tentang adanya kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh KINA & STARCOSA.
-     loan agreement merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan KONTRAK EKSPORT antara Tergugat I dengan KINA & STARCOSA.
  • Bukti P-1 “Loan Agreement” untuk menjamin pembayaran 85% dari harga mesin untuk memproduksi “Enriched Fructosa Syrup” yang dibeli Tergugat I dari KINA & STARCOSA yang dituangkan dalam Kontrak Eksport.
  • Pasal 17:4 “Loan Agreement” yang diakui Tergugat I, dengan jelas  ditentukan: “this Loan Agreement is legally independent of the Export-Contract.”  (Perjanjian Loan Agreement ini secara hukum terpisah dari kontrak eksport), maka jelas pula Loan Agreement bukan merupakan bagian yang tidak terpisah dari eksport kontrak.  Dengan demikian apabila ada kelalaian KINA & STARCOSA adalah semata-mata tanggung jawab KINA & STARCOSA, dan Penggugat tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  • Loan Agreement tidak dapat dikesampingkan dengan menunjuk pada pasal 17:4 Loan Agreement tidak dapat dikesampingkan dengan menunjuk pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tentang itikad baik dalam pelaksanaan setiap perjanjian, karena Loan Agreement terlepas dari kontrak eksport, dengan sendirinya tidak ada itikad tidak baik Penggugat dalam pelaksanaan Loan Agreement.
  • Bunga 9.5% per tahun telah diperjanjikan dalam Loan Agreement, apabila butir 5.1, maka besarnya bunga 9.5%/tahun mengikat Penggugat dan Tergugat I.
  • Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Loan Agreement, apabila peminjam tidak dapat membayar pokok pinjaman dan bunga sampai tanggal pelaksanaan pembayaran, pemberi kredit berhak membatalkan perjanjian dan menuntut seluruh pembayaran dan bunga dan jumlah lainnya.
  • Karena Tergugat I belum melaksanakan kewajibannya, oleh karena itu telah melakukan perbuatan ingkar janji.
  • Payment Guarantee untuk menjamin pembayaran hutang Tergugat I, kepada Penggugat, penjamin hutang Tergugat I adalah Tergugat II, III,IV dan V yang bersama-sama dengan Tergugat I bertanggungjawab renteng atas pelunasan pembayaran hutang Tergugat I dan segala sesuatunya, dan para Penjamin telah mengetahui Loan Agreement.
  • Berdasarkan bukti Payment Guarantee, Tergugat I, II, III, IV dan V wajib bertanggung jawab atas perbuatan ingkar janji Tergugat I secara tanggung renteng untuk melaksanakan kewajiban Tergugat I menurut Loan Agreement.
  • Tergugat I baru melaksanakan sebagian pembayaran bunga yang terhutang, sedangkan total pembayaran yang terhutang pada tanggal 30 Juni 1989 yang wajib dibayar Tergugat I bersama-sama Tergugat II, III, IV dan V yang tidak disangkal Tergugat I sebesar DM18.763.241.63 sesuai dengan jumlah tersebut dengan ketentuan butir 5 Loan Agreement, ditambah bunga berjalan terus terhitung sejak gugatan didaftarkan di Kepaniteraan sampai putusan ini dapat dilaksanakan.
  • Tergugat V yang tidak hadir di persidangan setelah dipanggil dengan patut harus dihukum untuk menaati putusan yang akan dijatuhkan.
  • Vergelijkende Beslag dan Concervatoir Beslag terhadap harta kekayaan para Tergugat yang telah dilakukan Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya dilakukan menurut ketentuan dan cara-cara yang ditentukan undang-undang, karena itu dinyatakan sah dan berharga.
  • Karena Penggugat berhasil membuktikan gugatannya, gugatan Penggugat harus dikabulkan, sedang Tergugat I, II, III, IV dan V adalah pihak yang kalah dibebankan untuk membayar ongkos perkara.
  • Karena gugatan yang terbukti berdasarkan akte authentik dan ternyata harta kekayaan Tergugat I dan Tergugat lainnya menjadi agunan hutang-hutang Tergugat dan telah disita Eksekusi Pengadilan Negeri Surabaya atas permintaan BNI Surabaya, telah menunjukkan itikad tidak baik Tergugat I dalam melaksanakan kewajibannya mengembalikan pinjaman yang diterimanya, disamping itu untuk memberikan jaminan bagi Investor Asing menanam modalnya di Indonesia, cukup alasan menyatakan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun Tergugat Banding atau Kasasi, sesuai dengan pasal 180 HIR.

DALAM REKONPENSI:
  • Bukti T.I-1 “Kontrak Eksport” adalah kontrak eksport antara Tergugat I dengan KINA & STARCOSA, sedang Bukti P-1 “Loan Agreement” perjanjian pinjaman antara Tergugat Rekonpensi dengan Penggugat Rekonpensi dan benar P-1 untuk menjamin pembayaran 85% dari harga mesin yang dibeli Penggugat Rekonpensi dari KINA & STARCOSA.
  • Pasal 17:4 Loan Agreement ditentukan: “this Loan Agreement is legally independent of the Export-Contract.”  (Perjanjian Loan Agreement ini secara hukum terpisah dari kontrak eksport).
  • Bertolak dari bukti P-1 tersebut, andai kata dalam pelaksanaan Kontrak Eksport KINA & STARCOSA melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian bagi Penggugat Rekonpensi, Tergugat Rekonpensi sama sekali tidak dapat dikaitkan apalagi dipertanggung jawabkan secara renteng.
  • Apabila KINA & STARCOSA melakukan perbuatan wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak eksport, seyogianya Penggugat Rekonpensi gugatan di Pengadilan Negeri untuk menuntut adanya wanprestasi dan ganti rugi dari KINA & STARCOSA.
  • Berdasarkan pasal 17:4 Loan Agreement secara hukum terpisah dengan kontrak eksport, dan berdasarkan pasal 1338 ayat 3 BW, perjanjian haruslah didasarkan kepada itikad baik, tidak ada alasan menurut hukum Penggugat Rekonpensi sendiri menyatakan KINA & STARCOSA telah melakukan wanprestasi dan menimbulkan kerugian, kecuali dengan satu putusan Pengadilan, apalagi mengaitkannya dengan tanggung jawab Tergugat Rekonpensi.
  • Oleh karena gugatan Rekonpensi tidak terbutki, harus dinyatakan ditolak keseluruhannya.
  • Akhirnya Hakim pertama menjatuhkan putusan pada pokoknya sebagai berikut:
DALAM KONPENSI:
  • 1.   Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2.   Menyatakan sebagai hukum Tergugat I, II, III, IV dan V telah melakukan wanprestasi.
3.   Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar seluruh jumlah hutang kepada Penggugat sebesar DM 18.763.241.63 (Deutsche Mark: Delapan belas juta tujuh ratus enam puluh tiga ribu dua ratus empat puluh satu dan enam puluh tiga per seratus) ditambah bunga yang berjalan terus dan biaya lainnya sesuai perjanjian Loan Agreement, terhitung sejak gugatan ini didaftarkan sampai dengan perkara ini dilaksanakan.
4.   Menyatakan Sita Perbandingan atau Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag) dan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang dilakukan dalam perkara ini adalah sah dan berharga.
Dst…………..dst……..dst.
DALAM REKONPENSI:
  • -     Menolak gugatan Pengugat Rekonpensi.
-     Menyatakan biaya dalam Rekonpensi NIHIL.
PENGADILAN TINGGI:
  • Pihak Tergugat I, II, III, dan IV menolak putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya tersebut di atas, dan mohon pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya.
  • Hakim banding setelah memeriksa perkara ini, dalam pertimbangan putusannya pada pokoknya berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum Hakim Pertama yang diuraikan di dalam putusannya sudah tepat dan benar, oleh karena itu diambil alih Pengadilan Tinggi sebagai pertimbangannya sendiri dalam memutus perkara ini, oleh karena itu baik putusan sela maupun putusan akhir Pengadilan Negeri Surabaya tersebut dapat dikuatkan.
MAHKAMAH AGUNG RI:
  • Putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas ditolak oleh para Tergugat I, II, III, dan IV dan mohon pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan mengemukakan “Keberatan Kasasi” yang isi pokoknya:
  1. Pengadilan Tinggi Surabaya dalam putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan memori banding para Pemohon Kasasi/ Tergugat asal I, II, III, dan IV.  Pengadilan Tinggi Surabaya hanya mengoper seluruh pertimbangan hukum Pengadilan Negeri sehingga Pengadilan Tinggi tidak menuruti Surat Edaran MARI tanggal 2 Agustus 1962 No. 856 /62/189K/Sip/1962 yang dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia;
  2. Pengadilan Tinggi Surabaya dalam memeriksa perkara ini begitu saja mengambil oper segala pertimbangan hukum judex facti Pengadilan Negeri Surabaya. Seharusnya Hakim Banding memeriksa kembali perkara dalam keseluruhannya baik mengenai fakta maupun mengenai pengetrapan hukumnya.  Oleh karena itu bertentangan dengan Yurisprudensi tetap MARI dalam putusannya No. 9511 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1973;
  3. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang hanya menyetujui keputusan Pengadilan Negeri Surabaya a quo tanpa memberikan pertimbangan hukum yang tepat yang mengandung “persetujuannya” itu haruslah dinyatakan tidak cukup.  Putusan Pengadilan Tinggi bertentangan dengan Yurisprudensi tetap MARI dalam putusannya No. 9K/Sip/1972 tanggal 19 Maret 1972;
  4. Para Pemohon Kasasi/Tergugat asal I, II, III dan IV tidak sependapat dan sangat keberatan atas pertimbangan hukum judex facti mengenai kewenangan memeriksa dan mengadili perkara ini seperti terurai dalam putusan sela yang kemudian dipertahankan pada putusan akhir dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya karena berdasarkan artikel 15.1 dan artikel 15.2 dari LOAN AGREEMENT bukti P-1, menetapkan bahwa antara Pemohon Kasasi/Tergugat-tergugat asal dan Termohon Kasasi/Penggugat asal telah disepakati secara tegas tentang pilihan hukum (yaitu hukum Republik Federasi Jerman) dan tempat pelaksanaan penerapan hukumnya (adalah Frankfurt-am Main) serta forum Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul;
Berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata, maka apa yang telah disepakati secara sah berlaku sebagi undang-undang yang mengikat, maka Loan Agreement untuk pilihan hukum dan tempat penerapah hukum haruslah di Republik Federasi Jerman.  Pemohon Kasasi telah menunjuk dan mengangkat Dr. Harald Voelze Boersenplatz 1 am Main sebagai agen untuk pelayanan proses Arbitrase di Republik Federasi Jerman.
Dengan demikian penyelesaian sengketa yang timbul terlebih dahulu sebagai pilihan utama diselesaikan melalui BADAN ARBITRASE, sehingga Termohon kasasi/Penggugat asal telah keliru mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Surabaya.  Oleh karena itu Pengadilan Negeri Surabaya dinyatkan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;
  1. Pemohon Kasasi tidak sependapat dan sangat berkeberatan pertimbangan hukum judec facti tentan pasal 17:4 Loan Agreement tersebut.  Loan Agreement – bukti P-1 adalah bagaian yang tak terpisahkan dan saling kait mengkait dengan Export Contract bukti T-1;
  2. Pertimbangan hukum judex facti mengenai bunga untuk jumlah pinjaman yang belum dibayar sebesar 9.5% setahun ternyata tidak konsisten dengan pertimbangan hukum yang lain.  Tentang bunga judex facti mendasarkan pada artikel 5.1 Loan Agreement, tentang pilihan hukum judex facti telah melanggar artikel 15.1 dan 15.2 Loan Agreement;
  3. Judex facti sama sekali tidak memeriksa dan memberikan pertimbagnan hukum atas gugatan Rekonpensi para Pemohon Kasasi/Tergugat-tergugat asal.
Tindakan KINA & STARCOSA yang tidak sesuai dengan perjanjian eksport contract yang telah disepakati adalah merupakan wanprestasi dan oleh karena Loan Agreement tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan Export Contract, maka Termohon Kasasi/Penggugat asal harus pula bertanggung jawab atas perbuatan wanprestasi KINA & STARCOSA.
  • Mamakah Agung RI setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat kasasi, dalam putusannya berpendirian bahwa keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ad. 4 dapat dibenarkan karena judex factie telah salah menerapkan hukum yang dalam putusannya telah menolak Eksepsi Pemohon Kasasi/Tergugat-tergugat asal.
  • Pendirian Mahkamah Agung ini didasari oleh alasan yuridis yang intisarinya sbb:
  • Loan Agreement dalam sengketa, menetapkan pada pasal 15 (1,2), bahwa Loan Agreement ini ditundukkan pada hukum FEDERAL REPUBLIC of GERMANY;
Segala sengketa yang mungkin timbul sehubungan dengan perjanjian pinjaman tersebut akan diselesaikan melalui ARBITRASE;
  • Berdasarkan hal-jal tersebut di atas, maka berarti dalam perjanjian ini ada KLAUSULA ARBITRASE, yang menurut Yurisprudensi tetap Indonesia menyebabkan Pengadilan tidak berwenang lagi mengadili perkara yang terjadi karena sengketa pinjaman tersebut;
  • Bahwa akan tetapi pada pasal 15.2 melanjutkan menyatakan: “bahwa kreditur” (“Lender”) tetap mempunyai hak untuk membawa perkara ke depan Pengadilan di Indonesia;
  • Menurut pendapat Mahkamah Agung alinea tersebut di atas (pasal 15.2 alinea kedua) haruslah diartikan sebgai tidak sejalan bahkan bertentangan denga pasal 1.2 yang menentukan bahwa untuk “Loan Agreement ini diperlakukan hukum dari Federal Republic of Germany, hal mana tentu tidak dapat dilaksanakan Pengadilan Indonesia;
  • Selebihnya dari itu, ketentuan bahwa Kreditur (“Lender”) tetap mempunyai hak untuk mengajukan sengketa kepada Pengadilan Indonesia yang berwenang, adalah ketentuan yang tidak seimbang, karena debitur (“Borrower”) tidak memiliki hak yang demikian, dalam hal mana Pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Agung) berwenang menyatkan bahwa alinea kedua dari pasal 15.2 LOAN AGREEMENT tersebut tidak dapat diperlakukan;
  • Karena alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa dalam “LOAN AGREEMENT” ini terdapat KLAUSULE ARBITRASE, dan berarti pula Pengadilan haruslah menyatakan diri tidak berwenang;
  • Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pada keberatan ad.4 tersebut di atas dengan tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kasasi lainnya yang diajukan oleh Pemohon-pemohon Kasasi: PT. LUMBUNG TANI INDONESIA dkk. tersebut dan untuk membatalakan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Surabaya tesebut, sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini yang seluruh amarnya berbunyi sebagai yang akan disebutkan di bawah ini;
  • Oleh karena dalam perkara ini gugatan Penggugat akan dinyatakan tidak dapat diterima, maka Sita Perbandingan atau Sita Penyesuaian (Vergelikende Beslag) dan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Surabaya tersebut harus dinyatakan tidak sah dan tidak berharga dan oleh karena itu harus diperintahkan pula untuk mengangkat sita tersebut.
  • Berdasar atas pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung RI memberikan putusan sebagai berikut:
MENGADILI:
-          Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon-pemohon kasasi:
1.   PT LUMBUNG TANI INDONESIA   ,
2.   PT. RAJUT DJATIM BARU,
3.   MR. DAVID LAUWIDJAJA,
4.   MRS. ANNEKE LAUWIDJAJA,
-          Membatalkan putusan pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 1 Oktober 1991 No. 769/Pdt/1990/PT.Sby, (yo putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 21 Juli 1990 No. 568/Pdt.G/1989/PN. Sby., tersebut;

DAN MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
-          Menyatakan Eksepsi Tergugat I, II, III dan IV dapat diterima;
-          Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa perkara ini;
DALAM KONPENSI:
-          Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
-          Menyatakan Sita Perbandingan atau Sita Penyesuaian (Vergelikende Beslag) dan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah dilakukan dalam perkara ini tidak sah dan tidak berharga;
-          Memerintahkan Pengdilan Negeri Surabaya untuk mengangkat sita tersebut.
DALAM REKONPENSI:
-          Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima;
-          Dst…………..dst…………..dst……………
CATATAN:
  • Dalam Loan Agreement ex pasal 15 (1) telah disepakati bahwa Loan Agreement ini ditundukkan pada Hukum Federal Republic of Germany dan segala sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase.  Ketentuan ini mengandung arti bahwa Loan Agreement tersebut terdapat Klausula Arbitrase, sehingga Badan Peradilan di Indonesia tidak berwenang mengadili perkara ini.
  • Mahkamah Agung dalam putusan kasasi berwenang untuk menyatakan bahwa ketentuan dalam alinea kedua dari pasal 15.2 dari Loan Agreement, tidak dapat diperlakukan, karena mengandung ketentuan yang tidak seimbang antara Hak Kreditur dengan Debitur (borrower) mengenai hak untuk mengajukan sengketa yang timbul dari pelaksanaan Loan Agreement ke Pengadilan Indonesia.
  • Mengenai masalah Badan Arbitrasi ini dipersilahkan memeriksa Varia Pengadilan Tahun IV No. 40 – halaman 110-151.
  • Demikian catatan atas kasus ini.
(Ali Boediarto)
Pengadilan Negeri Surabaya:
No. 568/Pdt.G/PN.Sby, tanggal 27 Februari 1990
Pengadilan Negeri Surabaya:
No. 568/Pdt.G/PN.Sby, tanggal 21 Juli 1990
Pengadilan Tinggi Surabaya:
No. 769/Pdt/PT.Sby, tanggal 1 Oktober 1991
Mahkamah Agung RI:
Reg. No. 1458/Pdt/1992, tanggal 3 Maret 1994
Majelis terdiri dari:
Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH, Ketua Muda MA-RI selaku Ketua Sidang dengan Anggota: Iswo, SH, dan Henoch Tesan Binti, SH.



Sumber : KASUS WANPRESTASI LOAN AGREEMENT (PERAN ARBITRASE)

this is me ^^

Semarang, Indonesia
apakah perlu alasan untuk menyukai sesuatu? Aku menyukai apa yang aku tau, dan aku tau apa yang aku suka :) Do what you do, what you llike, what you need :) I'm just an ordiinary girl. Sometimes I'm lazy, I get scared, I feel so ignored, I feel happy, I get silly, I choke on my own words, I make wishes, I have dreams, And I still want to believe, Anything could happen in this world.. For an ordinary girl.. Like you, like me.. Just an ordinary girl.. :)